SMPN 1 TANJUNGSIANG

SMPN 1 TANJUNGSIANG

Selasa, 13 Desember 2011

Suatu malam di bulan Juli, saya (Surjadi) bermimpi....

Saat itu saya sedang ada di dalam sebuah rumah yang pelatarannya masih lebih banyak tanahnya daripada rumput apalagi buah-buahan, tapi tanah itu cukup luas dan baik untuk digarap dan di tata. Udara sangat sejuk dan cuaca cukup cerah. Tiba-tiba di tengah keteduhan suasana waktu itu, situasi berubah menjadi kepanikan sebab terdengar suara orang-orang berteriak-teriak,"Ada Ular... ada ular... ada ular...!!!".

Tanpa membuang waktu, saya segera keluar untuk melihat apa yang terjadi... saya melihat ada seorang anak gadis kecil ketakutan sebab sedang dikejar-kejar oleh seekor ular yang sangat jahat dan berniat membunuh anak gadis kecil tersebut... tanpa pikir panjang, saya segera menarik anak gadis kecil tersebut dan dengan sekuat tenaga saya menendang ular tersebut ! Puji Tuhan...Anak gadis kecil itu selamat dan ular menghilang di balik tanah...

Situasi mulai tenang kembali, walaupun beberapa wajah masih terlihat ketakutan....

Tapi tiba-tiba... di balik tanah yang berwarna kecoklatan (coklat muda)... "sesuatu" bergerak dengan sangat cepat dan saya melihat dengan jelas sekali... ternyata itu adalah ular yang tadi dan baru saya perhatikan bahwa warna ular tersebut sama dengan warna tanah sehingga dengan mudah ia menyamar dan bersembunyi di balik permukaan tanah....

Situasi kembali mencekam...

Saya melihat ular tersebut menjadi sangat marah karena mangsanya terlepas dan sekarang ia melihat ke arah saya sambil membuka mulutnya... saya melihat ada gigi-gigi yang meruncing dan menakutkan...

Dan tiba-tiba saja, tanpa bisa diduga... Ular tersebut melompat dari permukaan tanah dan TERBANG dengan cepat langsung menyerang ke arah depan !

Di mimpi itu saya terkejut sekali, sebab belum pernah melihat ular seperti itu... dimana warna tubuhnya sama dengan warna tanah dan ternyata ia bisa terbang...

Tapi sekarang sudah tidak ada waktu untuk berpikir lebih lanjut, saya segera bersiaga sedapat-dapatnya untuk menghadapi ular yang ganas dan jahat tersebut.

Saat itu, yang ada di pikiran saya hanyalah,"Saya belum bisa berdiri kokoh, tapi ular ini jahat sekali dan ia hendak membunuh seorang anak gadis kecil... Apapun yang terjadi, aku harus hadapi ular ini, sekalipun nyawa taruhannya".

Dengan kecepatan penuh dan tanpa belas kasihan, Ular tersebut terbang ke arah saya dengan mulut terbuka...

Dan lihatlah...! Apa yang terjadi...?! Pada saat ular tersebut sedang terbang di udara dan hendak menyerang ke arah saya... Tiba-tiba seseorang datang dan ia membunuh ular tersebut dengan sebuah SEKOP untuk menggali tanah yang berada di tangannya. Ular mati terbelah jadi dua di tanah dan langsung di "gebuk" kepalanya dengan sekop tersebut...

Sementara saya terpana menyaksikan peristiwa tersebut, orang tersebut tersenyum sambil melihat ke arah saya

Demikianlah mimpi tersebut....

Dan inilah pengertian yg Tuhan berikan kepada saya :

Ular berbicara ttg sesuatu yang jahat. Anak kecil berbicara ttg anak-anak Tuhan yang baru saja bertumbuh dan belum dewasa. Peperangan Rohani ini dashyat sebab berbicara tentang perebutan jiwa-jiwa.
Dalam peperangan rohani, Tuhan tidak mau kita berperang sendiri, diperlukan kerjasama team yang saling unity dan saling mengasihi satu sama lain. Tuhan tidak butuh Superman.
Sekop berbicara mengenai alat yang juga dipakai untuk menggemburkan tanah sehingga bisa ditaburi benih yaitu Firman Tuhan. Carilah partner seperjuangan yang kemana-mana membawa sekop.
Setan itu jahat dan pandai menyamar. Serangannya selalu tiba-tiba, seringkali justru di saat kita tidak siap. Tuhan minta kita berjaga-jaga selalu. Don't celebrate too early !
Iblis sudah kalah ! Tugas kita adalah merebut kembali apa yang selama ini dia pegang, sebab sekalipun ia sudah kalah, ia tidak dengan mudah menyerahkan apa yang selama ini dia kuasai.
Maju terus hai kekasih hati Tuhan ! Tuhan bersama kita ! Imanuel...!!!
SENJATA


Dia memakai ransel yang diikatkan dengan malas dipunggungnya yang bungkuk. Dan tangannya dimasukkan ke kantong jaket militernya.

Mulanya sama sekali tidak kuperhatikan orang itu. Aku asyik memikirkan uang sewa kamarku yang belum lunas bulan lalu dan harus dibayar dalam tiga hari ini. Yang kupikirkan bukan uang itu. Tapi cara yang punya rumah memintanya. Dia tidak tahu bagaimana kepahitan hidup seorang penulis yang menggantungkan diri kepada karangan-karangannya.

Malam ini aku tidak pulang ke rumah. Malas dan mengkal. Maka aku memilih dengan menyusuri jalan-jalan malam hari sampai akhirnya pegal dan kemudian memilih jalan yang sepi. Dan kemudian kupilih sebuah tembok rumah dan duduk-duduklah aku di tangganya sambil merokok kretek.

Mulanya memang aku tidak memperhatikan orang itu. Tapi sekali bawah sadarku merasakan sesuatu dan demi heranku melihat tingkahnya yang agak aneh. Dia jalan mondar-mandir dalam jarak dua puluh langkah dan itu dilakukannya lebih dari setengah jam kukira. Kalau pegal dia duduk di pagar jalanan dan kemudian jalan lagi.

Akhir-akhir ini aku takut pada tentara. Dulu aku menabrak seorang tentara malam-malam dengan sepeda. Untung dia sabar dan tidak memukulku. Anehnya ia sesudah tidak jadi memukul itu
lantas menanyakan kartu penduduk. Dan soal kartu penduduk itu akhirnya menimbulkan perbuatan yang mencemaskan hidupku.

Aku tidak punya, jawabku dulu.

Ingatan itu belum habis, tentara yang mondar-mandir tadi itu tiba-tiba telah dihadapanku berdiri dengan tangan masih dimasukkan dalam jeketnya. Aku mulai takut kalau-kalau ia menanyakan kartu penduduk pula.

“Kau kawannya?” tanyanya tiba-tiba sambil memalingkan mukanya ke seberang jalan.

“Kawan siapa, Pak?” tanyaku berdebar.

“Maaf!” katanya kemudian dengan bersungguh hati. Dan kemudian menerusi, “Kau tinggal di mana, Mas?” pertanyaan yang aneh itu kujawab, “Jalan Wahidin.”

Lalu dia duduk begitu saja di sampingku. Aku yakin ia susah, sebab beberapa kali nafasnya dilepaskannya.

“Kenapa kau duduk-duduk di sini,” suaranya tidak mengancam, tapi isi kalimatnya terang mencurigaiku.

“Tidak apa-apa, Pak. Saya cuma kecapekan,” jawabku jujur.

“Betul-betul kau tidak punya kawan lain yang pergi ke seberang sana?” agak keras suara itu buatku walau diucapkannya lembek sambil menolehkan kepala ke seberang jalan.

“Tidak!”

“Awas kalau ada!” kini betul-betul mengancam ia rupanya.

“Kau dan dia akan saya tembak,” sambungan suaranya tambah mempertakut diriku.

Sesaat kami tidak bicara. Ia kelihatan sebenarnya amat lesu. Tapi tetap gelisah. Aku tak berani memulai bicara sebab takutku. Dan ketika ia bergerak sedikit, darahku serasa luput semua. Tapi ia cuma berdiri tidak memandangku. Dan kemudian pergi lagi ke arah tempat ia mondar-mandir semula. Ia tidak mondar-mandir lagi, cuma berdiri tenang-tenang di bawah tiang listrik. Dan alangkah senangnya hatiku ketika ia bergerak ke arah pepohonan jeruk dan hilang di antara pagar-pagar gang.

Aku akan cepat-cepat pergi saja. Aku khawatir ia gila. Tapi kemudian kubantah sendiri: Tidak mungkin tentara gila dilepaskan dari markas pondokannya. Kemudian kubantah lagi, gila atau tidaknya, tidak peduli. Yang penting aku harus pulang kini-kini juga dengan segera, agar tidak terlibat dalam persoalannya. Tapi ini pun kubantah, dia tadi menanyakan alamatku dan aku ada menyebutkan. Dia tadi curiga padaku. Dan tentu dia akan makin curiga sebab aku pergi. Dan ini akan menjadikannya marah yang akan disusulnya dengan memburuku dan aku betul-betul akan ditembaknya. Kemudian kuputuskan, sebaiknya aku tinggal diam di sini sampai pagi datang, biarpun ini akan menyiksaku.

Aku menyesal telah terhampar ke tempat ini dan mempersulit keadaan diri sendiri saja. Akhir-akhir ini aku khawatir tentang keadaan diriku dan khawatir pula kalau diriku dapat kesulitan.

Pernah dulu aku berniat akan bunuh diri. Tapi kubunuh perasaan gila begitu. Kemudian datang pula seorang kawan. Dia juga penulis. Dan menceritakan juga kesulitan-kesulitan hidup. Lalu kusuruh secara bergurau, “Bunuh diri saja!” walau aku menyatakan dengan hati yang bersungguh-sungguh. Tapi seperti juga diriku, dia pun tak jadi bunuh diri. Dan ketika kami bertemu, kawan itu berkata, “Buat apa kita membunuh diri kita. Lebih baik kita bunuh saja orang lain,” sambil ketawa. Dan kemudian ia mengajakku merampok toko, sambi! ketawa pula. Tapi kami tak jadi membunuh orang atau merampok toko.

Ketika aku senyum sendiri, alangkah kagetku. Orang tadi keluar di antara pohon-pohon jeruk dan terus menjurus ke arahku.

Aku mulai pura-pura menekur dan takutku menyita sampai ke seluruh tulang-tulangku.

“Mas,” tapi suara itu pun perlahan kudengar.

“Apa, Pak?”

“Barangkali dia pulang jam empat atau setengah lima.”

“Siapa, Pak?” tanyaku.

Ia tak menjawab tapi terduduk. Kelihatan sukar sekali dia duduk. Dan aku hanya berdiam diri saja sebab takutku

“Mas!” katanya.

“Ya?”

“Ada lelaki tidur dengan biniku sekarang!” kini barulah aku merasa tenteram. Dan suara itu dapat kurasakan sebagai tanda persahabatan.

“Mulanya kau kucurigai tadi. Tapi maaf, tadi aku agak pusing,” katanya.

“Aku pulang dari operasi, Kereta masuk jam sembilan malam tadi,” suaranya makin bersahabat. Dan betapa pun, aku senang kini.

“Aku minum-minum dulu di markas. Sebenarnya aku sudah boleh pulang tadi-tadi. Tapi jam sebelas aku pulang. Aku bawa oleh-oleh buat biniku, kutaruh di depan pintu belakang, sebab aku yakin lelaki itu pasti keluar dari pintu belakang.”

Tiba-tiba pula takut menyentaki darahku. Aku tak kepingin ikut-ikut dalam soalnya dan dalam soal siapa saja dalam saat sekarang ini.

“Bagaimana, Mas?”

“Tembak saja!” kataku tiba-tiba secara tak sadar, terpengaruh oleh perkataan “tembak” yang dari tadi sering beramuk di hatiku, sejak ketemu dengan orang ini agaknya.

Begitu senang aku, sebab aku tak ditanyai atas usulku yang terlanjur tadi. Dia memandangku lama-lama, kemudian mengeluh dalam-dalam. Barangkali ia takut mengambil resiko penembakan, pikirku. Ini kutangkap di matanya. Barangkali dia masih sayang pada bininya, pikirku, dan akan dimaafkannya. Dan ini kutangkap di matanya.

“Apa tadi, Mas? Tembak?”

Aku jadi terpana oleh pertanyaannya. Sebenarnya aku akan meneriakkan bantahan kembali, tapi aku sendiri nanti akan dicurigai dan diriku jadi korban pelor secara tak karuan. Dan aku bisa mati anjing.

“Ya. Tembak,” katanya perlahan dan pilu.

Lama ia pandang wajahku.

“Ketika operasi aku dapat menembak musuh dengan sebaik-baiknya. Kau tahu?” suaranya mengobarkan kebanggaan. “Dan setidak-tidaknya ada lebih lima yang kupasti,” kemudian ia mengeluh dengan nafas yang sakit.

Kami saling terhening beberapa saat, di saat mana otakku dibalaukan oleh kebuntuan-kebuntuan pikiran. Dengan tiba-tiba saja ia bersuara, “Kita di sini saja sampai jam lima. Biarpun dia lewat jalan belakang, gang itu gang buntu,” dan sekaligus suara-suara persahabatan begitu berakhir dengan ajakan agar aku terlibat dengannya.

“Kau tolong aku nanti. Mau kau menolong?” biarpun tidak kujawab, tapi ia sendirilah yang menjawabnya, “Tentunya kau mau menolong,” demikian ngeri kuterima putusan kerja sama ini.

“Sudah jam berapa?” tanyanya gelisah.

“Aku tak punya jam!” jawabku takut-takut.

Ia meraihkan nafas dalam. Kami terdiam agak lama.

“Sudah jam berapa?” tanyanya lagi.

“Aku tak punya jam, Pak,” kujawab dengan heran.

“O, iya, ya!” dan kemudian ia berdiri.

Kelihatan sekarang, dia makin gelisah. Dipandangnya ke arah di seberang dan matanya mulai menyala-nyala.

“Kau tolong aku!” perintahnya tiba-tiba. Ketika aku terdiam agak lama, ia menanyai agak mengancam, “Tak mau kau menolong aku?”

“Mau Pak!”

“Ambilkan pistolku di ransel belakang.” Dan ia menunduk ketika itu, sehingga dengan mudah pistol itu kuambil dan kuberikan padanya.

“Isikan pelornya! Itu kosong,” perintahnya lagi.

Aku benar-benar takut dan pasti, bahwa ia gila. Aku gugup, sebab dalam hidupku aku belum pernah berkenalan dengan senjata api. Lama-lama aku terdiam deagan takut dan gelisah, sampai aku kemudian dibentaknya, “Tak mau kau menolong aku?”

“Aku tak pernah pegang pistol, Pak.”

Matanya jadi merah dan tiba-tiba kurasa tanganku diraihnya, sehingga pistol itu jatuh.
Kucoba memandang dia dengan mata minta dikasihani, tapi begitu kaget aku ketika dalam matanya berenang butir-butir air mata putus asa. Biji matanya kemudian turun mengajak mataku melihat sesuatu.

Kedua tangannya! Tangan-tangannya tidak bertelapak dan berjari lagi, sebab putus tentang pertengahan lengan.

Ia menggigil. Tak berani aku memandangnya. Yang kudengar hanya tangisnya yang menggigit-gigit sepi malam.

TAMAT

HARGA MUJIZAT = 1 DOLLAR 11 CENT


Tess adalah gadis kecil yang berumur 8 tahun dan cepat dewasa dalam berpikir. Pada satu hari ia mendengar mama dan papanya sedang membicarakan adik laki-lakinya yang bernama Andrew. Yang ia tahu, adiknya itu sakit parah dan mereka telah kehabisan uang. Bulan depan, mereka akan pindah ke komplek apartemen karena papanya tidak memiliki uang untuk membayar dokter dan rumah kontrakan. Hanya operasi yang dapat menyelamatkan Andrew dan sepertinya tidak ada orang yang bisa meminjamkan uang kepada mereka. Tess mendengar papanya berkata kepada mamanya yang berlinang air mata, "Hanya mukjizat yang bisa menyelamatkan Andrew."

Tess pergi ke kamar tidurnya dan menarik sebuah toples dari tempat persembunyiannya di laci. Ia mengeluarkan semua uang recehan ke atas lantai dan menghitungnya dengan sangat hati-hati. Tess bahkan sampai 3 kali menghitungnya. Jumlahnya harus pas dan tidak boleh salah. Dengan hati-hati, ia menuangkan recehan itu kembali ke toplesnya dan menutupnya rapat-rapat. Ia menyelinap dari pintu belakang dan berhasil melewati 6 blok untuk sampai di depan Toko Obat Rexall dengan simbol gambar seorang pemimpin indian merah tergantung di atas pintunya.

Dengan sabar ia menunggu sang apoteker untuk memperhatikannya, tetapi ia sepertinya sangat sibuk. Tess menggerak-gerakkan kakinya untuk membuat suara-suara gaduh. Namun tidak berhasil. Ia bersendawa tetapi tidak berhasil juga. Akhirnya ia mengambil 1/4 isi dari toplesnya dan membantingnya di meja kasir.
Berhasil!

"Mau apa kamu?" tanya sang apoteker dengan nada suara yang jengkel, "aku sedang berbicara dengan saudaraku dari Chicago yang sudah lama sekali tidak kujumpai," ujarnya tanpa menunggu jawaban dari pertanyaannya.
"Hmm, aku ingin bicara padamu tentang adikku, " Tess menjawab dengan nada suara yang tidak kalah jengkelnya.
"Ia benar-benar sakit dan aku ingin membeli mukjizat."
"Apa kau bilang?" tanya sang apoteker.
"Namanya Andrew dan ia mempunyai sesuatu yang buruk di dalam kepalanya dan papa berkata bahwa hanya mukjizat yang bisa menyelamatkannya sekarang. Jadi, berapa harga sebuah mukjizat?"

"Kami tidak menjual mukjizat di sini, gadis kecil. Maafkan aku tetapi aku tidak dapat menolongmu," jawab sang apoteker dengan nada suara yang kini lebih pelan.

"Dengar, aku punya uang untuk membayarnya. Jika tidak cukup, aku akan membayar sisanya. Katakan saja berapa harganya."

Saudara dari sang apoteker itu, ia membungkukkan badannya dan bertanya pada gadis kecil itu, "Mukjizat apa yang adikmu perlukan?"

"Aku tidak tahu," jawab Tess
 dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. "Aku hanya tahu bahwa ia benar-benar sakit dan mama bilang, adikku perlu dioperasi. Namun papa tidak punya uang untuk membayar operasi, jadi aku ingin menggunakan uangku ini."

"Berapa jumlah uang yang kau miliki?" tanya pria dari Chicago itu.
"1 dollar 11 cent," jawab Tess hampir tak terdengar, "dan hanya itu uang yang ku punya. Namun aku bisa mendapatkan uang lebih jika aku memerlukannya."
"Hmm, kebetulan sekali," kata pria itu tersenyum. "1 dollar 11 cent adalah harga yang paling tepat untuk mukjizat yang adikmu perlukan." Ia mengambil uang itu dengan tangan yang satu dan dengan tangan yang lain ia meraih dompet si gadis kecil dan berkata, "Bawa aku ke tempat di mana kamu tinggal. Aku ingin melihat adikmu dan menemui orang tuamu. Mari kita lihat apakah aku memiliki mukjizat yang kamu perlukan."

Orang yang berpakaian rapi itu adalah Dr. Carlton Amstrong, seorang dokter bedah spesialis saraf. Operasi berhasil dilaksanakan tanpa biaya apapun dan tidak lama kemudian Andrew sudah bisa kembali ke rumah dan keadaannya semakin membaik. Papa dan mamanya dengan bahagia membicarakan rangkaian peristiwa yang telah membawa mereka hingga sampai ke sini.

"Operasi itu," kata mama Tess berbisik, "benar-benar sebuah mukjizat. Aku bertanya-tanya berapa harganya?"

Tess tersenyum. Ia tahu pasti berapa harga mukjizat itu...

1 dollar 11 cent.
Ditambah dengan iman seorang gadis kecil.



"Pertolonganku ialah dari TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi."
Mazmur 121 : 2